Perempuan pesisir di Kabupaten Demak memiliki pengalaman unik dalam memahami perubahan iklim. Pengetahuan mereka tidak diperoleh semata-mata dari buku pelajaran atau bahkan seminar atau Pendidikan formal lainnya, melainkan tumbuh dari pengalaman hidup sehari-hari, dari observasi terhadap laut, cuaca, dan dampaknya bagi keluarga serta lingkungan sekitar. Proses belajar ini berjalan alami melalui interaksi mereka dengan suami yang berprofesi sebagai nelayan, sesama perempuan pesisir, serta komunitas di desa yang sama-sama menghadapi risiko iklim.
Mereka menyadari perubahan iklim melalui tanda-tanda sederhana seperti musim yang semakin sulit diprediksi, hasil tangkapan ikan yang menurun, serta gelombang pasang dan banjir rob yang semakin sering menggenangi kampung. Jika dahulu nelayan bisa memperkirakan musim melaut, kini pengetahuan itu tidak lagi dapat diandalkan. Cuaca yang tidak menentu membuat suami mereka sering tidak bisa pergi ke laut, atau pulang dengan hasil tangkapan yang jauh lebih sedikit. Para perempuan mengamati langsung bagaimana kondisi ini menggerus pendapatan keluarga, sehingga mereka memahami bahwa perubahan iklim bukanlah sesuatu yang abstrak, tetapi nyata dirasakan dalam dapur rumah tangga.

Dampak perubahan iklim juga menambah beban kerja perempuan. Ketika banjir rob atau gelombang pasang datang, mereka harus sigap memindahkan barang, membersihkan rumah, dan tetap memastikan kebutuhan keluarga terpenuhi. Di sisi lain, banyak perempuan yang selama ini bekerja mengolah ikan asin, membuat trasi, atau menjual hasil tangkapan, harus menghadapi keterbatasan bahan baku karena berkurangnya hasil laut. Akibatnya, sumber penghasilan tambahan pun ikut terganggu. Kondisi ini memaksa mereka untuk semakin kreatif dalam mengatur ekonomi rumah tangga.
Meski demikian, perempuan pesisir Demak tidak hanya menjadi pihak yang pasif. Mereka terus belajar memahami situasi. Informasi tentang perubahan iklim dan bencana mereka dapatkan dari berbagai sumber, seperti media sosial, informasi dari perangkat desa, pengumuman di mushola, hingga kabar dari anak-anak mereka yang lebih akrab dengan teknologi digital. Pengetahuan lokal yang mereka bangun berpadu dengan informasi eksternal, membuat mereka mampu membaca tanda-tanda risiko iklim sekaligus menyiapkan langkah-langkah sederhana untuk bertahan.
Praktik adaptasi yang mereka lakukan bervariasi. Sebagian keluarga memilih untuk meninggikan rumah agar tidak terendam rob. Ada pula kesepakatan warga untuk saling membantu saat bencana datang, misalnya dengan berbagi informasi atau gotong royong membersihkan lingkungan. Beberapa perempuan berinisiatif mencari usaha alternatif, seperti berjualan makanan, membuka jasa kecil, atau ikut dalam kegiatan sosial ekonomi yang digerakkan komunitas. Adaptasi ini lahir dari keterpaksaan, tetapi lambat laun menjadi strategi penting yang menopang ketahanan keluarga.
Lebih jauh, perempuan juga mulai menyuarakan kebutuhan kolektif. Mereka mengusulkan agar pemerintah maupun organisasi seperti KPPI memberikan pelatihan tambahan, berbagi pengetahuan, dan menyediakan dukungan nyata untuk menghadapi krisis iklim. Aspirasi mereka menunjukkan bahwa perempuan tidak hanya menjadi penerima dampak, tetapi juga aktor yang memiliki pandangan ke depan. Mereka menilai bahwa pembangunan infrastruktur yang lebih baik, akses jalan yang memadai, serta perencanaan adaptasi berbasis komunitas sangat penting agar desa mereka lebih siap menghadapi ancaman iklim di masa depan.

Kisah perempuan pesisir Demak ini memperlihatkan bahwa proses belajar tentang perubahan iklim berjalan melalui observasi dan pengalaman langsung. Mereka menyaksikan perubahan lingkungan, merasakan dampaknya pada ekonomi dan kehidupan sehari-hari, lalu secara perlahan mengembangkan praktik adaptasi. Meski terbatas oleh sumber daya, mereka mampu menemukan strategi bertahan melalui kreativitas, solidaritas, dan keteguhan untuk menjaga keluarga. Dengan demikian, perempuan di Demak menjadi bagian penting dari aktor adaptasi iklim, yang tidak hanya berjuang di ranah domestik, tetapi juga mendorong lahirnya kesadaran kolektif untuk membangun ketahanan komunitas pesisir.
Penulis : Riza Puspita