Membaca Krisis Iklim pada Tubuh Perempuan

Membca Krisis Iklim pada Tubuh Perempuan

Sebuah workshop bertajuk adaptasi perempuan pesisir terhadap krisis iklim digelar di Posko KNTI Semarang. Kegiatan ini diselenggarakan oleh KPPI (Kesatuani Perempuan Pesisir Indonesia) dan diikuti oleh perempuan-perempuan nelayan dari tiga wilayah: Semarang, Demak, dan Tangerang. Fasilitator workshop, Siti Maimunahi dan Mia Hasmi, memandu jalannya proses selama beberapa hari ke depan, dengan tujuan menggali pengalaman hidup perempuan nelayan, menganalisis dampak perubahan iklim, dan menyusun strategi bersama untuk bertahan dalam situasi yang semakin kompleks.

Hari pertama dimulai dengan sesi perkenalan dan berbagi pengalaman dari para peserta. Dari KPPI Semarang hadir Suntiah, Sonia, Suprihatiningsih, dan Evita. Dari KPPI Demak, hadir Rika, Farah, dan Relawati. Sementara KPPI Tangerang diwakili oleh Fatmawati dan Karyem. Masing-masing peserta membawa cerita yang berbeda, namun senada dalam satu hal: tubuh mereka, sebagai perempuan, menjadi ruang pertama yang menanggung beban perubahan iklim.

Perempuan, Pekerjaan, dan Perubahan

Setelah sesi pengenalan, peserta diajak merefleksikan kondisi di wilayah masing-masing. Hasil pendataan yang dipaparkan memperlihatkan ragam pekerjaan perempuan pesisir yang selama ini jarang terlihat. Di Tambak Lorok, Semarang, banyak perempuan bekerja sebagai pengasap ikan, buruh pabrik, dan pedagang keliling. Mereka tidak hanya mengatur keuangan rumah tangga, tetapi juga menopang ekonomi keluarga melalui kerja-kerja informal.

Dari Demak, para peserta menceritakan bagaimana perempuan menjadi pembuat garam dan berjualan secara keliling. Meskipun pekerjaan ini tidak tercatat secara resmi, kontribusinya sangat signifikan dalam menjaga keberlangsungan ekonomi keluarga nelayan. Sementara itu, kisah dari Tangerang lebih sarat tekanan: perempuan menjadi pengering ikan, pencari kerang, dan pembersih cangkang tiram, bahkan harus menjual rumah demi membeli perahu agar suami atau anak mereka tetap bisa melaut. Mereka juga menghadapi realitas sosial yang berat—suami yang meninggal muda, anak-anak yang putus sekolah atau terjerat narkoba, tanpa adanya jaminan sosial atau dukungan negara yang memadai.

Tubuh Perempuan, Krisis Iklim, dan Strategi Bertahan

Perubahan iklim tidak hanya merusak musim dan hasil tangkapan laut—ia juga mengacak-acak ritme hidup dan kerja perempuan pesisir. Dalam diskusi yang berlangsung selama workshop, para peserta diajak menyelami bagaimana tubuh mereka sendiri menjadi saksi pertama dari krisis ini. Ketika musim panen garam tidak bisa diprediksi, atau hasil tangkapan berkurang drastis, perempuan harus bangun lebih pagi, tidur lebih malam. Waktu yang semestinya digunakan untuk istirahat justru tersita untuk mencari tambahan penghasilan atau mengatur ulang strategi bertahan hidup keluarga.

Bukan hanya fisik yang lelah. Ketidakpastian ekonomi juga menghantam kesehatan mental. Para perempuan menceritakan bagaimana tekanan demi tekanan menumpuk di kepala: anak-anak yang butuh biaya sekolah, utang yang tak kunjung lunas, suami yang tak bisa melaut, dan harga kebutuhan pokok yang terus melonjak. Dalam situasi ini, perempuan tak hanya menjadi korban, tapi juga pengambil keputusan cepat dalam rumah tangga—meski tanpa akses informasi, pelatihan, apalagi perlindungan sosial.

Namun di tengah situasi yang menekan, tumbuh pula berbagai bentuk adaptasi yang dilakukan perempuan pesisir. Mereka tidak tinggal diam. Ada yang memilih beralih ke pekerjaan baru yang lebih fleksibel, seperti membuka warung kecil, menjual makanan siap saji, atau menerima pesanan jahitan. Ada yang memanfaatkan keterampilan memasak atau membuat kerajinan untuk membuka usaha mikro rumahan. Di sisi lain, keputusan-keputusan sulit pun tak terhindarkan: menjual aset pribadi seperti motor, bahkan rumah, demi mempertahankan kelangsungan hidup keluarga.

Sebagian perempuan membentuk kelompok usaha bersama, berbagi modal dan tenaga untuk menciptakan sumber penghasilan baru. Mereka juga mulai membangun jaringan solidaritas antar perempuan—tempat untuk berbagi cerita, saling bantu, dan menemukan kekuatan bersama. Adaptasi ini jauh dari mudah. Banyak yang harus bekerja lebih dari satu pekerjaan, merelakan waktu untuk anak, bahkan kesehatan sendiri. Namun dari situlah ketangguhan perempuan pesisir terlihat jelas: daya hidup yang dibangun bukan dari kemudahan, melainkan dari keterbatasan yang dihadapi dengan kepala tegak.

Dalam sesi selanjutnya, para peserta secara kolektif menyusun peta agensi: siapa saja yang seharusnya hadir untuk mendukung proses adaptasi ini. Mereka menyebut pemerintah desa, RT/RW, dinas kelautan dan perikanan, dinas sosial, lembaga pelatihan keterampilan, hingga organisasi masyarakat sipil yang peduli pada isu perempuan dan lingkungan. Semua pihak ini dianggap penting untuk menciptakan ekosistem yang mendukung perempuan pesisir—bukan hanya melalui bantuan sesaat, tetapi lewat kebijakan yang berpihak, pelatihan yang relevan, dan perlindungan yang nyata.

Yang mereka butuhkan bukan belas kasihan, tapi keberpihakan. Karena krisis iklim bukan hanya soal alam yang berubah, tapi soal bagaimana sistem sosial gagal melindungi mereka yang paling terdampak—dan bagaimana perempuan, dengan segala keterbatasannya, terus mencari jalan untuk bertahan hidup.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *