Dampak Trawl dan Krisis Iklim terhadap Perempuan Pesisir Indonesia

United Nations Ocean Conference UNOC di Nice Prancis.

Di tengah laju perubahan iklim yang semakin mengancam dan eksploitasi laut yang tak kunjung henti, perempuan pesisir berdiri sebagai penjaga kehidupan yang paling terdampak, namun juga paling sering diabaikan. Suara itu disuarakan oleh Hasmia, Dewan Pembina Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia (KPPI), dan Nilawati, Ketua DPD KPPI Kota Medan, dalam Konferensi Kelautan PBB ke-3 (UNOC 3) di Nice, Prancis. Mereka hadir sebagai wakil dari ribuan perempuan nelayan yang hari-harinya dihabiskan untuk bertahan hidup di tengah laut yang semakin tidak pasti.

Perempuan nelayan dalam Konferensi Kelautan PBB ke-3 (UNOC 3) di Nice, Prancis
Perempuan nelayan dalam Konferensi Kelautan PBB ke-3 (UNOC 3) di Nice, Prancis

Hasmia dengan lantang menyampaikan bahwa trawl bukan sekadar alat tangkap yang merusak lingkungan, tapi juga simbol dari ketimpangan struktural yang terus menggerus ruang hidup masyarakat pesisir. Dalam banyak wilayah di Indonesia, hasil tangkapan nelayan tradisional menurun drastis akibat penggunaan trawl dan alat tangkap destruktif lainnya. Namun, yang paling merasakan dampaknya adalah perempuan. Ketika penghasilan suami tidak lagi cukup untuk kebutuhan rumah tangga, perempuan nelayan harus memutar otak dan tenaga untuk tetap menjaga dapur tetap mengepul. Mereka bekerja dari fajar hingga larut malam, menyelesaikan pekerjaan rumah, mengurus anak dan orang tua, lalu bekerja sebagai pengupas kerang, pedagang keliling, buruh cuci, atau pekerjaan informal lain yang bisa memberi sedikit pemasukan.

Perempuan nelayan dalam Konferensi Kelautan PBB ke-3 (UNOC 3) di Nice, Prancis Nilawati menyampaikan keresahan sebagai perempuan nelayan dalam Konferensi Kelautan PBB ke-3 (UNOC 3) di Nice, Prancis

Perempuan Nelayan Menjadi Penopang yang Terabaikan

Nilawati menyebut dirinya sebagai ibu rumah tangga yang juga menjadi penampung dan pengolah hasil tangkapan. Ia menyaksikan langsung betapa perubahan iklim semakin memperparah keadaan. Rob datang lebih sering, abrasi menggerus lahan, anak-anak sungai ditimbun, dan hutan mangrove ditebang. Semua itu menyebabkan jalur transportasi dan distribusi lumpuh, mengakibatkan penurunan drastis pendapatan masyarakat pesisir. Dalam kondisi seperti itu, perempuan nelayan tak hanya kehilangan penghasilan, tapi juga kehilangan rasa aman.

Meski bekerja lebih dari 18 jam setiap hari, kerja perempuan pesisir sering tak dianggap sebagai kerja. Padahal mereka melakukan segalanya—memelihara ekonomi keluarga, menjaga komunitas, merawat lingkungan, hingga menghidupkan solidaritas kampung. Di banyak tempat, mereka juga menjadi garda depan dalam aksi-aksi penolakan terhadap reklamasi, penimbunan sungai, atau penggunaan alat tangkap yang merusak. Mereka menanam kembali mangrove, membersihkan laut, dan membangun koperasi perempuan. Mereka bukan hanya bertahan, tapi juga melawan.

Namun, semua kerja itu berlangsung dalam situasi yang tidak adil. Banyak permukiman pesisir tidak memiliki legalitas tanah, membuatnya rentan terhadap penggusuran. Fasilitas sanitasi tidak layak, air bersih sulit dijangkau, sekolah terlalu jauh, dan angka kriminalitas serta peredaran narkoba tinggi. Ketika negara tidak hadir, perempuan pesisir menanggung sendiri semua kerentanan itu.

Di forum internasional ini, Nilawati dan Hasmia membawa harapan: agar pemerintah nasional dan dunia internasional membuka mata. Bahwa perempuan pesisir bukan hanya korban, tapi pelaku penting dalam menjaga laut dan kehidupan. Mereka menuntut adanya kebijakan yang konkret—kebijakan yang berpihak pada nelayan kecil dan perempuan nelayan, yang menjamin perlindungan atas ruang hidup, keselamatan kerja, dan akses terhadap layanan dasar.

“Laut adalah ruang hidup kami. Menjaga laut bukan hanya untuk kepentingan nelayan, tapi untuk masyarakat dunia,” ucap Nilawati dengan tegas.

Hasmia menutup dengan pesan penting. Trawl adalah wajah dari ketimpangan yang disusun secara sistemik. Maka untuk mengubahnya, tidak cukup dengan teknis atau proyek. Harus ada ruang bagi perempuan pesisir untuk bersuara dan menjadi bagian dari pengambilan keputusan. Karena merekalah yang paling paham, paling terdampak, dan paling setia menjaga kehidupan tetap berjalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *