Di banyak kampung nelayan, perubahan iklim bukan lagi sekadar isu global yang jauh dari keseharian. Ia telah berubah menjadi tamu tak diundang yang rutin mengetuk pintu rumah. Datang lewat banjir rob yang tiba-tiba, gelombang pasang yang makin tinggi, hingga angin laut yang makin ganas dan tak menentu.
Di Semarang, Demak, dan Tangerang, perempuan nelayan menghadapi situasi ini hampir setiap bulan. Air laut masuk ke rumah, perahu rusak, hasil tangkapan menurun, dan pasar tergenang. Tapi hidup harus terus berjalan. Anak-anak tetap perlu makan, dapur harus tetap menyala, dan komunitas tetap harus dijaga.
Perempuanlah yang paling pertama dan paling dekat dengan dampak krisis ini. Dan dalam banyak hal, mereka juga yang paling pertama bergerak—menyesuaikan cara bertahan, menyusun strategi baru, dan saling menguatkan satu sama lain.
Perubahan Iklim: Mengubah Wajah Pesisir, Mengguncang Kehidupan
Cuaca tak menentu dan naiknya permukaan laut membawa dampak besar pada sektor kelautan dan perikanan. Banjir rob tak hanya merusak rumah-rumah nelayan, tetapi juga menghancurkan tempat pengolahan dan penjualan ikan. Ini berarti, sumber penghidupan mereka terhenti.
Lebih dari itu, banjir rob juga mencemari sumber air bersih, meningkatkan risiko kesehatan, dan memaksa keluarga-keluarga pesisir hidup dalam ketidakpastian. Semua ini memperbesar kerentanan, terutama bagi perempuan, yang tak hanya mengelola ekonomi keluarga, tetapi juga merawat, mengatur ulang pengeluaran, dan menjaga keberlangsungan komunitas.
Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia (KPPI), yang selama ini bekerja bersama komunitas nelayan perempuan di berbagai wilayah pesisir, menyadari bahwa suara dan pengalaman perempuan tak boleh lagi diabaikan. Melalui survei di lima wilayah—Demak, Semarang, Tangerang, Medan, dan Batubara—KPPI menggali pemahaman perempuan pesisir mengenai krisis iklim, strategi adaptasi yang telah mereka lakukan, dan sejauh mana dukungan kebijakan hadir di tingkat lokal.
Temuan dari survei ini menunjukkan bahwa di balik setiap dapur yang tergenang dan warung yang tutup, ada ketahanan yang luar biasa. Perempuan menyusun ulang cara bertahan hidup: menjahit jaring yang rusak, berjualan keliling saat pasar tutup, hingga memulai usaha kecil di rumah. Mereka tak hanya mencari jalan keluar, tapi juga saling menguatkan.
Workshop Ketahanan: Dari Cerita ke Strategi Bersama
Sebagai tindak lanjut dari survei, KPPI menyelenggarakan rangkaian Workshop Hasil Survei: Ketahanan Perempuan Pesisir Menghadapi Perubahan Iklim dan Kebencanaan. Workshop ini dilaksanakan dalam dua bentuk: daring dan luring, dengan melibatkan lima tim gugus tugas iklim dari komunitas pesisir.
📅 Workshop Online
▫ 10 Juli 2025 – Region Jawa (Demak, Semarang, Tangerang)
▫ 11 Juli 2025 – Region Sumatra (Medan dan Batubara)
📍 Workshop Luring
▫ 19–21 Juli 2025 – Semarang (Region Jawa)
▫ 24–26 Juli 2025 – Batubara (Region Sumatra)
Dalam ruang ini, perempuan-perempuan penggerak berkumpul untuk memverifikasi hasil survei, mendiskusikan tantangan dan praktik baik, serta merumuskan rekomendasi yang bisa menjadi pijakan penyusunan panduan ketahanan perempuan pesisir ke depan.
Perempuan Pesisir: Penjaga Kehidupan di Garis Depan
Di tengah iklim yang semakin ekstrem, perempuan pesisir tetap berdiri di garis depan. Mereka adalah penjaga dapur, penjaga komunitas, dan penjaga keberlangsungan hidup di pesisir yang makin rapuh. Mereka bukan korban. Mereka adalah penjaga yang selama ini tak terlihat.
Workshop ini bukan sekadar agenda organisasi. Ia adalah ruang pengakuan. Bahwa ketahanan perempuan pesisir harus menjadi dasar dalam membangun strategi adaptasi perubahan iklim yang adil dan berpihak.
Karena tak ada ketahanan iklim tanpa ketahanan perempuan.
Dan tak ada keadilan iklim tanpa mendengar suara mereka yang paling dekat dengan laut yang sedang terluka.
📌 Ikuti terus perjalanan mereka di Instagram: @perempuan.pesisir.indonesia