Di hari kedua workshop yang diselenggarakan KPPI di Posko KNTI Semarang, suasana masih terasa hangat. Para peserta perempuan dari Semarang, Demak, dan Tangerang kembali duduk melingkar bersama dua fasilitator, Siti Maimunahi dan Mia Hasmi, untuk mengawali hari dengan sesi refleksi. Cerita dan data yang sempat menguras emosi di hari sebelumnya mulai dibaca ulang—dengan kepala lebih dingin, tapi hati yang semakin yakin bahwa apa yang mereka alami bukan sekadar kisah pribadi, melainkan cerminan dari sistem yang timpang.
Refleksi itu membawa peserta menyusuri ulang jejak pekerjaan yang mereka jalani, dari mengasap ikan, membuat garam, hingga membersihkan cangkang tiram. Namun kini, pertanyaannya lebih tajam: apa yang berubah? Apa yang membuat tubuh mereka semakin letih? Mengapa pekerjaan yang dulu bisa menghidupi, kini justru membuat mereka nyaris tak punya waktu untuk bernapas?
Membaca Krisis Melalui Peta Situasi
Setelah refleksi, sesi berikutnya mengajak peserta membaca kembali peta situasi kerja lokal yang mereka susun. Di balik garis-garis pada kertas itu, tergambar pergeseran yang perlahan tapi nyata: Musim tak lagi bisa ditebak, wilayah tangkap menyempit karena reklamasi, dan air laut yang makin masuk ke darat membuat mereka kehilangan tempat tinggal dan sumber air bersih.
Dari diskusi kelompok, mengalir berbagai persoalan yang mengendap lama dalam kehidupan mereka:
rob yang datang saban bulan, tanah yang perlahan tenggelam, dan saluran air yang tak kunjung dibenahi.
Ketika cuaca ekstrem datang, tak ada yang menjamin keselamatan mereka di laut.
Ketika lahan disengketakan, nama mereka bahkan tak tercantum dalam sertifikat.
Namun dari semua itu, mungkin yang paling menyakitkan adalah saat mereka kehilangan identitasnya sebagai nelayan. Mereka pernah melaut, mencari kerang, mengangkat jaring. Tapi karena tak diakui negara, mereka terhapus dari skema perlindungan, dari catatan statistik, bahkan dari narasi pembangunan pesisir.
Pemetaan Tubuh: Membaca Luka, Merawat Daya
Sesi terakhir di hari itu menjadi ruang paling intim—dan mungkin paling kuat. Peserta diminta memetakan tubuh mereka sendiri. Bagian mana yang terasa paling lelah? Bagian mana yang menyimpan pengetahuan? Bagian mana yang kuat menopang keluarga? Dan bagian mana yang terus-menerus memikul beban tak kasat mata?
Di situ, tubuh perempuan menjadi peta hidup yang merekam sejarah adaptasi dan perjuangan. Tangan yang kapalan dari membersihkan ikan. Punggung yang pegal karena berdiri lama di pasar. Kepala yang penuh kecemasan akan biaya sekolah anak. Tapi juga dada yang penuh keberanian. Dan kaki yang tetap melangkah, meski jalan ke depan tak selalu terang.
Melalui presentasi kelompok, perempuan-perempuan ini menuturkan bukan hanya penderitaan, tetapi juga strategi. Dari menjahit hingga berjualan online, dari membentuk kelompok usaha bersama hingga memperjuangkan hak atas lahan. Mereka tidak sekadar bertahan—mereka beradaptasi, menyusun siasat, dan menciptakan ruang-ruang aman untuk saling belajar dan saling menguatkan.
Dari Tubuh ke Kebijakan
Hari kedua workshop berakhir dengan satu kesimpulan bersama: krisis iklim tidak bisa hanya dihadapi oleh individu. Ia membutuhkan keberpihakan struktural. Ia memerlukan kebijakan yang lahir dari pengalaman perempuan yang hidup paling dekat dengan dampaknya.
Apa yang mereka alami bukan sekadar “dampak iklim,” tapi sebuah ketidakadilan yang dibiarkan tumbuh dari waktu ke waktu. Mereka tidak meminta dikasihani. Mereka hanya ingin negara melihat mereka—sebagai nelayan, sebagai pekerja, sebagai perempuan yang tahu persis apa yang dibutuhkan untuk bertahan.